
Mamuju, Mandarpos.com -Usman Suhuriah Wakil Ketua DPRD Sulbar Bahas tentang Sulbar dan Soal Penganganggaran. Halnya tidak jauh dari pentingnya kebijakan-kebijakan yang memihak. Dengan berbagai masalah seperti kecilnya ruang fiskal daerah maka seringkali beriringan pula dengan kebijakan penganggaran sebagai suatu masalah.
Melihat hal tersebut maka bisa dikaitkan dengan pernyataan menteri keuangan Sri Mulyani belum lama ini dalam menyoroti formulasi pengganggaran dalam APBD baik tingkat provinsi maupun di Kabupaten/kota.
Disebutkan bahwa terdapat ketimpangan dalam penganggaran seperti penggunaan untuk perjalanan dinas, kemudian belanja tidak langsung untuk gaji pegawai. Sehingga berdasarkan formasinya, anggaran belanja publik hanya mendapatkan sisa sedikit.
Disebutkan bahwa pemda dalam mengelola anggarannya adalah umumnya mendekati 70 % anggaran dipergunakan untuk kebutuhan
operasional pemerintah daerah. Sehingga rata-rata untuk masyarakat mendapatkan anggaran yang kurang maksimal karena hanya mendapatkan porsi sekitar 30 % saja. Demikian halnya dengan belanja pegawai mendapatkan porsi rata-rata sekitar 36 %. Atau berarti masih lebih besar anggaran belanja pegawai dibandingkan dengan belanja publik.
Selanjutnya disebutkan bahwa untuk belanja barang dan jasa terutama rata-rata perjalanan dinas sebesar 13,4 %. Belanja operasional kantor mencapai rata-rata 17,5 %. Dan bila dijumlahkan dengan rata-rata belanja pegawai sebesar 36 % maka proporsinya terdapat rata-rata sebesar 70 % untuk mengurusi kebutuhan pelayanan pemerintah daerah.
Memperhatikan proporsi masing-masing anggaran seperti yang dikemukakan menteri keuangan Sri Mulyani dengan melihat anggaran yang dapat diarahkan kepada kepentingan masyarakat secara langsung (belanja publik), maka anggaran yang hanya tersisa sebesar rata-rata 30 % ini, kita sebut sebagai masalah. Ketika berbagai kebutuhan belanja publik untuk berbagai sektor mendesak dilaksanakan. Dengan bentuk penganggaran tersebut tentunya sulit untuk disebut memiliki keberpihakan kepada masyarakat.
Oleh organisasi perangkat daerah (OPD) dengan anggaran yang tersedia dalam APBD, tentunya akan tidak relevan untuk menyebut penganggaran yang dikelola adalah untuk kepentingan belanja publik. Sehingga berbagai pernyataan untuk mendukung program sektoral seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan maupun sektor usaha peningkatan ekonomi masyarakat bawah faktanya hanyalah mendapatkan porsi kecil bagi masing-masing sektor yang sebenarnya butuh anggaran tidak kecil. Disebutkan kecil dengan melihat porsi tersisa kurang lebih 30 % untuk belanja tersebut habis dibagi dalam berbagai sektor dengan porsi sudah kecil dan makin mengecil setelah memencar ke berbagai OPD.
Sekedar melihat rincian APBD 2021 untuk provinsi Sulbar dengan menghitung pendapatan (transfer) ditambah dengan PAD adalah sebesar + 2.3 T dengan belanja operasional sebesar + 1,5 T meliputi belanja tidak langsung atau belanja pegawai sebesar + 575 M, belanja barang/jasa sebesar + 670 M. Sementara untuk belanja modal hanya + 373 M. Khusus untuk belanja modal inilah yang diperuntukan untuk belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi serta belanja modal untuk aset tetap.
Berdasarkan porsi ini maka belanja publik yang diharapkan dapat memacu perubahan seperti untuk mendukung peningkatan pelayanan kesehatan, mutu pendidikan, pengembangan dan pembangunan sektor pertanian, perkebunan, perikanan, sektor usaha kecil menengah, kenyataannya untuk menjadikan sumber penganggaran (APBD) sebagai stimulator menjadi tidak akan maksimal berdasarkan pola alokasi dan distribusi demikian.
Melihat pola penganggaran seperti klaim menteri keuangan sebagaimana dikemukakan di awal, begitu pula penganggaran yang dimiliki daerah ini dengan ditambahkan dengan berbagai spending mandatori UU seperti pemenuhan prosentase bidang kesehatan, pendidikan dst, ditambah beban hibah daerah karena mandat dari sejumlah Perda, adalah menambah pusaran masalah dalam memacu kemajuan daerah lewat sumber keuangan daerah.
Namun hal penting yang dapat membantu situasi ini, selain menjalankan advokasi melalui pembahasan anggaran antara pemerintah daerah dengan DPRD untuk mengubah formasinya terutama pada belanja publik adalah dengan keterlibatan pemerintah pusat untuk benar-benar menjalankan funishment (hukuman) kepada pemerintah daerah yang memiliki penganggaran timpang atau penganggaran yang mengutamakan belanja pelayanan aparat pemerintah daerah dan membelakangkan anggaran belanja publik.(***)
